BAB I
PENDAHULUAN
Islam
Menurut
konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah
Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan
hakim semesta Alam.
Tuhan
dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa. Menurut Al-Quran ada
99 nama untuk Allah. Nama-nama ini mengingatkan kita akan sifat-sifat Allah.
Nama yang paling terkenal dan sering dipakai ialah “Maha Pengasih” (ar-rahman)
dan “Maha Penyayang” (ar-rahim)
Orang
Islam percaya bahwa penciptaan alam semesta dan penguasaannya oleh Allah adalah
bukti utama kemurahhatian Allah. Karena Tuhan muncul dimana pun ia tidak harus
menjelma dalam bentuk apapun. Dalam Al-Quran tertulis, “Dia tidak dapat dicapai
oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-An’am 6:103)
Kristen
Konsep
Kristen sama dengan inti paragraph ini. Namun Alkitab mengajar bahwa walaupun
Allah menentukan takdir manusia ia masih memberi kebebasan terbatas kepada
manusia untuk bertindak menurut kehendaknya sendiri.
Menurut
Alkitab ada jauh lebih banyak dari 99 nama untuk Allah. Malahan ada ratusan
nama yang diberikan untuk menolong kita mengerti siapakah Allah. Alkitab
mengemukakan Allah sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan oleh karena itu
orang yang sungguh masuk kerajaan-Nya diberi hak memanggil-Nya “Bapa.”
Salah
satu cara Allah menyatakan kemurahhatian-Nya ialah dalam penciptaan-Nya. Namun
Allah melihat manusia juga terbelenggu oleh dosa dan menyatakan
kemurahhatian-Nya dalam menyediakan jalan keselamatan dari perbudakan dosa.
Dengan penjelmaan Kalimat-Nya, Isa Al-Masih, untuk menjadi Juruselamat orang
yang percaya kepada-Nya dapat dilepaskan dari belenggu dosa.
BAB II
KONSEP TENTANG ALLAH
A.
Pribadi
Allah dalam Perjanjian Lama
Di
dalam perjanjian lama dituliskan mengenai pribadi Allah, yaitu Allah dikenal
sebagai Allah yang dalam bahasa Ibraninya ialah “Elohim” yaitu suatu kata yang
umum untuk “Allah”, Tuhan (Yahweh), Tuhan (Adonai), Allah Yang Maha Tinggi,
Allah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Kekal, Yang Maha Kuat Pelindung Yakub dan
Gunung Batu. Pribadi Allah ditujukan dengan banyaknya sebutan bagi Allah. Namun
dari berbagai sebutan yang ada, makna semuanya itu adalah sama[1].
B.
Konsep
Allah dalam Perjanjian Lama
1.
Allah
Tidak Kelihatan[2]
Setiap
bangsa yang berelasi dengan Israel menggambarkan para dewa dan dewinya dalam
bentuk berhala. Mereka kerap
melukiskannya sebagai bintang. Agama pribumi tanah Kanaan, yang sering
begitu menarik bagi Israel, secara khusus melukiskan dewa Baalnya dalam bentuk lembu muda yang adalah lambang kehidupan
dan kekuatan seksual. Orang-orang Mesir juga menggunakan lambang ini dan
lambang-lambang lain untuk mewakili dewa-dewa mereka. Sejak permulaan Israel
berada di bawah tekanan yang konstan untuk melakukan hal yang sama.
Ketika
Musa menerima Taurat di atas Gunung Sinai, umatnya ada di bawah membakar
perhiasan untuk membuat anak lembu yang bisa mereka sembah (Keluaran 32:1-35;
Ulangan 9:7-21). Penyembahan berhala menjadi masalah yang mendesak setelah
kerajaan Daud dan Salomo yang tadi dibanggakan itu terpecah dua menjadi
kerajaan Israel dan Yehuda. Pada saat itu, pendirian dua tempat ibadah nasional
menjadi suatu kebutuhan politis sekaligus agamawi. Raja Yerobeam dari Israel
memberikan dukungan agamawi untuk sikap politiknya dengan mendirikan
lembu-lembu jantan dari emas di tempat-tempat suci Betel dan Dan (I Raja-raja
12:28-33). Ia memililki alasan-alasan yang bagus untuk melakukannya. Sebagai
rakyatnya bukan orang Israel, melainkan orang Kanaan. Menciptakan patung jenis
apapun yang dapat disembah sebagai allah adalah suatu kesalahan besar.
Kepercayaan bahwa Allah tidak kelihatan tertanam secara teguh pada setiap aliran
penuis Perjanjian Lama. Berhala dilarang dalam hukum kedua dari Sepuluh
Perintah Allah (Keluaran 20:4-5; Ulangan 5:8-9).
2.
Allah
bukan kekuatan alam[3]
Kebanyakan
agama di Timor Dekat Kuno merupakan alat untuk menjelaskan dan mengontrol dunia
alam yang mempengaruhi kehidupan manusia. Di Mesir, banjir tahunan dari Sungai
Nil sangat penting untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh sebab itu, banyak agama
Mesir berminat untuk menjamin agar banjir itu berjalan terus. Di tempat lain di
daerah Bulan Sabit Subur, kesuburan ladang-ladang dan kemakmuran ternak
tergantung pada turunnya hujan pada saat yang tepat tiap tahun. Ini yang
terjadi di Kanaan, tempat umat Israel menetap setelah lepas secara dramatis
dari perbudakan Mesir. Umat Israel sering tergoda untuk menyembah Baal dari
pada menyembah Allah mereka sendiri. Untuk hal inilah Perjanjian Lama mengecam
mereka sepenuhnya. Dengan menyembah Baal, mereka berarti secara mendasar salah
mengerti karakter Allah. Allah berada di atas alam, bukan bagian dari alam.
Walaupun pada kesempatan tertentu Allah dapat digambarkan dengan memakai
gambaran yang di dapat dari gejala alam seperti terang atau api (Mazmur 104:2;
Yehezkiel 1:27-28), Ia tidak pernah dapat diidentifikasikan dengan
kekuatan-kekuatan dunia alam (Keluaran 19:18; Ulangan 4:32, 36).
3.
Allah itu
‘kejam’ dan kurang ‘cinta kasih’
Ada beberapa
alasan mengapa gambaran Allah dalam Perjanjian Lama (PL), terlihat ‘kejam’ dan
kurang ‘cinta kasih’? Dalam kisah perang dalam Perjanjian Lama, misalnya saja
pada kisah bagaimana Allah memerintahkan bangsa Israel untuk berperang dengan
bangsa Kanaan, sebelum mereka dapat masuk ke Tanah Perjanjian (seperti
diceritakan dalam Kitab Yoshua), maka kita melihatnya demikian:
§ Pertama-tama,
perlu kita terima bahwa penentuan hidup dan mati manusia adalah hak Tuhan.
Tuhan yang memberi hidup, dan Tuhan pula yang mengambilnya jika saatnya tiba.
Maka jika Tuhan mengambil jiwa seseorang, itu sepenuhnya adalah hak Tuhan. Di Perjanjian
Lama, jika Allah menyuruh bangsa Israel berperang, yang akhirnya melibatkan
kematian banyak orang, itu harus dilihat bahwa bukan berarti manusia boleh
membunuh, namun harus dilihat bahwa kebijaksanaan/keadilan Tuhan menentukan
demikian. Manusia atas kehendak sendiri tidak boleh membunuh (baik membunuh
diri sendiri atau orang lain) justru karena urusan hidup dan mati itu adalah
hak Tuhan dan bukan hak manusia. Sedangkan bagi Tuhan, karena Ia yang
menjadi sumber dan empunya kehidupan manusia, maka Dia berhak menentukan hidup
dan mati kita sesuai dengan kebijaksanaan/keadilan-Nya. Dalam konteks Perjanjian
Lama, maka segala kejadian peperangan maupun cobaan yang dihadapi umat Israel
adalah bagian dari rencana Allah dalam rangka mempersiapkan umatNya untuk
menerima nilai-nilai kebajikan yang nantinya akan digenapi dalam diri Kristus.
§ Keadilan
Tuhan dinyatakan dalam Perjanjian Lama paling nyata dalam hukuman terhadap
manusia yang menduakan Tuhan, yaitu karena manusia menyembah berhala, yang
artinya mempunyai allah lain selain Allah. Maka di sepanjang Perjanjian Lama
kita melihat bagaimana langkah Tuhan men-disiplinkan bangsa pilihan-Nya,
Israel, agar mereka tidak jatuh ke dalam dosa ini. Tuhan membela Israel dan
mengalahkan bagi mereka para bangsa yang menyembah berhala, namun jika bangsa
Israel menyembah berhala, maka Allah mengizinkan mereka kalah perang dan
dikuasai oleh para bangsa lain.
§ Bangsa
Israel diperintahkan untuk memerangi bangsa Kanaan, juga untuk mengajarkan kita
bahwa Tanah Perjanjian yang
melambangkan surga tidak layak untuk dihuni oleh orang-orang yang tidak
mengenal Allah, dan hidupnya tidak sesuai dengan perintah Allah.
4. Apakah Allah dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru berbeda
Sesungguhnya pertanyaan ini didasarkan
pada salah pengertian yang mendasar mengenai apa yang Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru ungkapkan mengenai pribadi Allah. Cara lain untuk mengekspresikan pemikiran
yang sama adalah waktu orang mengatakan, ”Allah Perjanjian Lama adalah Allah
yang murka sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi.” Fakta
bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah secara progressif melalui
peristiwa-peristiwa sejarah dan cara Allah berhubungan dengan manusia sepanjang
sejarah memungkinkan terjadinya salah pengertian terhadap Allah dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun ketika orang membaca baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru langsung jelas bahwa Allah tidak berbeda dan bahwa
murka dan kasih Allah diungkapkan dalam kedua Perjanjian. Contohnya, dalam
Perjanjian Lama Allah dikatakan sebagai ”penyayang dan pengasih, panjang sabar,
berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” :Keluaran 34:6, Bilangan34:6, Ulangan 4:3, Nehemia9:17,
Mazmur 86:5; 15; Mazmur 108:4; Mazmur145:8;Yoel 2:13. Di dalam Perjanjian Baru kasih setia dan
kemurahan Allah dinyatakan dengan lebih jelas dalam pernyataan :”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).
Dalam Perjanjian Lama kita menemukan
bahwa Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah
yang pengasih terhadap anak-anaknya. Saat mereka secara sengaja berdosa
kepadaNya dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali
mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan
mereka. Allah juga bersikap demikian terhadap orang-orang Kristen dalam
Perjanjian Baru. Misalnya, Ibrani 12:6 memberitahu kita, sbb :”Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya,
dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibrani 12:6).
Demikian pula dalam Perjanjian Lama kita melihat penghakiman dan murka Tuhan
dicurahkan atas orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat.
Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa
”Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18 ). Bahkan
sekalipun kita hanya membaca Perjanjian Baru secara sekilas, kita melihat
dengan jelas bahwa Yesus berbicara lebih banyak mengenai neraka dari pada
mengenai surga. Jadi jelas bahwa dalam Perjanjian Lama Allah tidak berbeda
dengan dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan naturnya, Allah tidak dapat berubah
dan walaupun dalam ayat-ayat Alkitab tertentu aspek tertentu dari natur Allah
lebih ditekankan dari aspek-aspek lainnya, Allah sendiri tidak pernah berubah[4].
C. Allah Dalam Perjanjaian Baru
Keberadaan Allah dalam PB dan perhatian-Nya terhadap ciptaan-Nya
memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai keberadaan manusia itu sendiri.
Berikut
ini kita akan membahas Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Allah sebagai Bapa,
Allah sebagai Raja dan Hakim, serta bermacam-macam gelar yang lain untuk Allah.
Kemudian secara ringkas mengenal sifat-sifat Allah.
Allah Sebagai
Pencipta
Tidak ada keraguan diantara
orang-orang Kristen bahwa Allah adalah Pribadi yang memulai alam semesta ini.
Pernyataan yang paling jelas dari pengajaran Yesus mengenai tema ini terdapat
dalam Markus 13:19 (“sejak awal dunia, yang diciptakan Allah”). Yesus juga
mengutip pernyataan PL dan menerimanya secara penuh bahwa Allah menjadikan
manusia laki-laki dan perempuan (Mrk. 10:6; Mat. 19:4).
Dalam khotbahnya kepada orang-orang
Athena, Paulus dengan berani memberitakan bahwa Allah yang dia sembah adalah
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia yang adalah Tuhan atas
langit dan bumi (Kis. 17:24). Kuasa penciptaan-Nya juga terlihat dalam
pernyataan bahwa manusia adalah keturunan-Nya (Kis. 17:29). Hal yang sama juga
disampaikan oleh Paulus dalam khotbahnya di Listra.
Dalam surat-surat Paulus, misalnya
dalam Roma 1:25 dikemukakan secara jelas mengenai adanya hubungan antara
Pencipta dan mahluk-mahluk ciptaan-Nya. Demikian juga dalam Roma 1:20 dikatakan
bahwa sesungguhnya hasil ciptaan mencerminkan karya Penciptanya. Segala yang
diciptakan Allah menyatakan sifat Allah yaitu kuasa yang kekal dan
keilahiran-Nya. Paulus mengkritik mereka yang melarang orang-orang menggunakan
hal-hal yang diciptakan Allah untuk kebaikan manusia (1 Timotius 4:3).
PB mencerminkan keyakinan yang sama
dengan keyakinan yang dinyatakan dalam PL, yaiut bahwa ciptaan tidak sama
kekalnya dengan Pencipta. Penulis-penulis PB tidak membahas cara penciptaan.
Dalam Ibrani 11:3 langsung dikatakan bahwa “alam semesta telah dijadikan oleh
firman Allah” (bd. Kej. 1:3). Pelaku ciptaan lebih penting daripada cara
penciptaan. Dalam Kitab Kejadian dikatakan bahwa pelaku penciptaan adalah Roh,
sedangkan dalam PB dikatakan bahwa
penciptaan dilakukan melalui Kristus. Penekanan terhadap aktivitas Kristus
dalam penciptaan sama sekali tidak mengurangi aktivitas Allah dalam penciptaan
melainkan sebagai satu kesatuan. Dalam Injil Yohanes 1:3 dikatakan bahwa Firman
yang bersama-sama dengan Allah adalah Pelaku penciptaan: “segala sesuatu
dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala
yang dijadikan. Hal yang sama juga terdapat dalam Kolose 1:16 dan Ibrani 1:2.
Nyatalah bahwa Sang Anak menopang segala yang ada (ta panta) dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Ayat-ayat ini
juga mengajarkan bahwa bukan saja Allah menciptakan melalui (dia) Kristus
tetapi juga bagi (eis) Dia. Hal ini
memberi petunjuk mengenai apakah maksud ilahi mengenai alam semesta ini. Dengan
hikmat yang tidak terbatas, Allah membuat penciptaan berpusat pada Kristus dan
bukan pada manusia. Dunia ini bukanlah milik manusia. Ciptaan itu sendiri
terjalin dengan kondisi manusia, hal itu secara jelas diakui oleh Paulus dalam
pembicaraan mengenai keluhan ciptaan yang menantikan pembebasan (Rm. 8:19 dst).
Seluruh masalah ekologi yang berkaitan dengan polusi dan penyalahgunaan
sumber-sumber alami sangat bertentangan dengan pandangan PB bahwa dunia
dicptakan “bagi” Yesus Kristus.[5]
PB menjelaskan mengenai aktivitas
Allah yang terus berlangsung dalam alam semesta. PB tidak mendukung pendapat
yang mengatakan bahwa setelah menciptakan dunia, Allah membiarkannya tanpa
memperdulikannya. Pemeliharaan Allah didasarkan pada sifat Allah.
Dalam pengajaran Yesus, pemeliharaan
Allah diberikan penekanan kepada mahluk-mahluk ciptaan-Nya. Pemeliharaan Allah
nampak dalam Matius 10:29. Ia menjelaskan bahwa tidak seekor burung pipit pun
yang dinilai kecil oleh manusia, jatuh ke bumi di luar kehendak Bapa. Bahkan
Bapa Sorgawi memberi makan burung-burung, tanpa mereka harus menabur benih,
memetik atau menyimpan makanannya (Mat. 6:26). Bahkan yang lebih mengagumkan
lagi adalah Allah mengetahui jumlah rambut di kepala, dimana hal ini
menunjukkan secara jelas perhatian Allah yang begitu terperinci akan hidup
manusia (Mat. 10:30). Di samping itu, matahari dan hujan berada di bawah
pengawasan-Nya. Ia memberikan panas matahari dan menurunkan hujan tanpa mengindahkan
kelayakan para penerimanya (Mat. 5:45).[6]
Hal itu juga memberikan jaminan mengenai keberhasilan rancana Allah bagi
umat-Nya di dunia. Pengalaman perlawanan, aniaya, bahkan mati sebagai martir
bukan menunjukkan bahwa Allah melukai umat-Nya atau memalingkan wajah-Nya dari
mereka.[7]
Keyakinan yang sama juga ditunjukkan
oleh Paulus pada waktu ia berbicara di Listra dengan menegaskan bahwa Allah
yang mengatur musim-musim (Kis. 14:17) dan di depan sidang Aeropagus (Kis.
17:25) Paulus menekankan bahwa Allah yang memberikan nafas kehidupan kepada
semua orang.[8]
Allah Sebagai
Bapa
Ajaran tentang kebapaan Allah adalah
ajaran yang paling khas dalam PB dan khususnya dalam ajaran Yesus. Pada masa
itu, orang-orang penyembah berhala beribadah kepada dewa-dewanya dalam suasana
ketakutan, tetapi pandangan Kristen tentang kebapaan Allah memberikan unsur
kemesraan ke dalam hubungan manusia dengan Allah yang tidak ada bandingannya
dalam dunia kafir.
Dalam PB dikemukakan tiga hal
mengenai kebapaan Allah yaitu: Bapa Yesus (Yesus disebut sebagai Anak Allah),
Bapa murid-murid Yesus dan Bapa dari semua ciptaan-Nya.
Contoh
yang paling terkenal untuk memperlihatkan Allah sebagai Bapa bagi
murid-murid-Nya ditunjukkan oleh Yesus dalam bentuk doa yang Dia ajarkan. Dalam
doa Bapa kami, Allah disapa secara langsung dengan sebutan Bapa, hal itu pantas
dilakukan oleh murid-murid hanya karena doa itu didasarkan atas pendekatan
Yesus sendiri kepada Allah. Pengertian mengenai “kebapaan” Allah bukan berlaku
secara umum, melainkan mencakup penekanan yang bersifat pribadi (akrab), dimana
hal ini dapat dilihat dengan kata “kami” yang digunakan. Dengan demikian, doa
Bapa kami merupakan pengajaran Kristen yag merombak pandangan terdahulu
mengenai Allah.[9]
Allah Sebagai
Raja dan Hakim
Di dalam keseluruhan PB ditemukan
keyakinan bahwa Allah adalah Raja. Konsep ini terpusat pada ungkapan “kerajaan
Allah” atau “kerajaan Sorga.” Konsep kerajaan itu jelas bahwa ada Raja yang
memerintah rakyatnya. Pada zaman PB, umumnya raja-raja itu dikenal lalim,
tetapi tidak ada satu bagianpun dalam PB yang memberikan kesan bahwa Allah
adalah lalim. Kedudukan seorang raja meliputi kedaulatan dan kedaulatan dalam
fungsinya yang sebenarnya mencakup unsur tanggungjawab. Memang kerajaan Allah
itu juga bisa dikategorikan keselamatan yang disediakan Allah. Keselamatan dari
Allah tidak bisa dipisahkan dari kedaulatan Allah. Warga-warga kerajaan adalah
orang-orang yang telah menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk melakukan kehendak
Raja. Kehendak Raja merupakan norma bagi manusia.
Pengertian mengenai Allah sebagai
Raja juga tidak bisa dipisahkan dari karya Allah dalam menciptakan dunia ini.
Allah yang menciptakan, maka Allah juga yang berhak memerintah. Sesungguhnya,
mahluk pencipta tidak memiliki hak untuk mempermasalahkan keputusan-keputusan
Pencipta. Paulus juga mengakui hal itu pada saat dia mengemukakan ilustrasi
mengenai tukang periuk dalam Roma 9:19 dstnya. Sebagai Raja, maka yang layak
untuk dilakukan oleh warganya yaitu menyembah dan menghormati Allah. Hal ini
tidak boleh dipersoalkan.
Pengertian mengenai jabatan Raja dan
Hakim berhubungan erat. Kepastian akan penghakiman Allah merupakan pandangan
utama yang melatarbelakangi khotbah Yohanes Pembaptis yang tajam itu (bnd. Mat.
3:7 dst; Luk. 3:7 dst). Yesus mempunyai pandangan yang sama pada saat Dia
membicarakan mengenai penghakiman Allah pada masa yang akan datang (bnd. Mat.
7:1-2; 1:22-24; 12:36-37). Seorang raja yang benar-benar berdaulat pasti akan
menuntut pertanggungjawaban dari warga negaranya sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan. Dalam Yohanes 8:16, dikatakan juga bahwa Yesus secara nyata
ikut serta menghakimi dalam pengadilan Allah.
Paulus juga mengakui bahwa Allah
juga kelak akan menghakimi dunia (Rm.3:6). Ini juga berbicara mengenai tahta
pengadilan Allah (Rm. 14:10). Bagi Paulus, menghakimi merupakan hak istimewa
Allah. Paulus mengakui bahwa penghakiman Allah ini keras dan dia
menghubungkannya secara hati-hati dengan kemurahan Allah (Rm. 11:22).[10]
Kalau Allah menghendaki kita melakukan perbuatan baik, itu berarti bahwa Ia
tidak bersikap acuh tak acuh terhadap cara hidup kita. Suatu hari kita akan
dipanggil untuk memberik pertanggungjawaban atas diri kita (Rm. 3:19). Paulus
sering mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan jahat tercatat di hadapan Allah.
Misalnya:
a.
orang-orang
yang membanggakan hukum Taurat namun melanggarnya, tidak hanya menjadi
orang-orang munafik dan meremehkan Tuhan, tetapi mereka juga tidak menghormati
Allah (Rm. 2:23)
b.
mereka
menyebabkan nama Allah dihujat (Rm. 2:24)
c.
bahkan
orang-orang beragama, mereka yang bekerja giat bagi Allah, dapat kehilangan
kebenaran bagi diri mereka sendiri (Rm. 10:3)
d.
ada
orang yang memanfaatkan firman Allah untuk keuntungan mereka sendiri (2 Kor.
2:17)[11]
Dalam
kitab Wahyu, Allah yang menghakimi Babel yang merupakan suatu gambaran
simbolis. Babel merupakan gambaran orang yang memberontak.[12]
Berbagai Gelar
Untuk Allah
Roh
Dalam Injil Yohanes 4:24, Yesus
mengatakan bahwa Allah adalah Roh. Maksudnya bahwa Allah tidak dapat
didefinisikan dalam kategori-kategori jasmani. Penyataan ini penting karena
pada masa itu orang-orang menganggap bahwa dewa-dewa yang terbuat dari kayu dan
batu sebagai suatu hal yang lazim.
Juruselamat
Meskipun dalam PB gelar
“Juruselamat” umumnya diterapkan kepada Yesus Kristus namun gelar itu juga
digunakan bagi Allah, sesuai dengan tindakan Allah yang menonjol dalam PL.
Dalam Lukas 2:11, malaikat memberitahukan kepada para gembala di Efrata, bahwa
pada hari itu telah lahir bagimu Juruselamat. Ayat ini menyatakan bahwa Yesus adalah
Juruselamat bukan Guru Selamat. Yesus mendatangkan keselamatan, bukan hanya
mengajarkan jalan keselamatan. Yesus adalah keselamatan itu sendiri.[13]
Sesungguhnya, theologi Kristen berpusat pada tema mengenai Allah yang
menyelamatkan umat-Nya.[14]
Yang Mahatinggi
Gelar ini menyatakan bahwa Allah adalah paling tinggi
yang menunjukkan keunggulan Allah atas segala ilah lain. Gelar ini juga
digunakan oleh juru tenung dalam Kisah Para Rasul 16:17, oleh setan-setan yang
menguasai seorang lali-laki dari Gerasa (Luk. 8:28; Mrk. 5:7), oleh Yesus
sendiri ketika menasehati orang-orang untuk mengasihi musuh-musuh mereka (Luk.
6:35), dan oleh Zakharia dalam nyanyiannya tentang Yohanes Pembaptis (Luk.
1:76). Juga digunakan dalam uraian mengenai keimaman Melkisedek (Ibr. 7:1).
Allah Nenek
Moyang Israel
Allah seringkali disebut secara
khusus sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub (Mat. 8:11; 22:32; Mrk. 12:26;
Luk. 20:37; Kis. 3:13; 7:32). Demikian juga dalam Kisah Para Rasul, Allah
disebut sebagai “Allah nenek moyang kita.”
Dalam kalangan Yahudi penggambaran hubungan Allah dengan para bapa
leluhur memberikan arti yang sangat penting bahwa hubungan itu menonjolkan
Allah yang jauh lebih besar daripada suatu ilah kesukuan saja. Sehingga hal ini
menekankan kesinambungan antara PL dan PB, Allah yang disembah oleh para
leluhur sama dengan Allah yang disembah orang percaya masa kini.[15]
Alfa dan Omega
Sebutan mengena Allah sebagai Alfa
dan Omega terdapat dalam Wahyu 1:8 dan 21:6. Harus dipahami bahwa ini sebutan
ini merupakan bentuk kiasan yang mempunyai arti mencakup segala sesuatu. Dengan
demikian, sebutan itu berarti baik awal maupun akhir dan segala sesuatu harus
dihubungan dengan Allah. Tuhan berdaulat atas segala zaman dan keadaan.[16]
Sifat-sifat
Allah
Allah itu Mulia
Dalam PL, istilah “mulia”
menggunakan kata “kavod” sedangkan dalam PB menggunakan kata doxa. Istilah doxa
digunakan dalam dua pengertian yaitu kemuliaan yang dapat dilihat (dalam arti
memandang kemuliaan Allah) serta puji-pujian yang diucapkan (dalam arti
memuliakan Allah). Sungguh menakjubkan bahwa penulis-penulis PB sering menyebut
kemuliaan dan keagungan Allah bahkan mereka mendorong orang-orang untuk
memuliakan Allah. Orang-orang seringkali secara spontan memuliakan Allah atas
karya kuasa-Nya yang ajaib. Misalnya:
1.
Lukas
2:20 – gembala-gembala memuji dan memuliakan Allah pada saat kelahiran Yesus
2.
Markus
2:12; Lukas 5:25-26; Matius 9:8 – orang-orang yang menyaksikan orang lumpuh
disembuhkan
3.
Matius
15:31 – sejumlah orang yang menderita bermacam-macam penyakit disembuhkan
4.
Lukas
7:16 – seorang yang mati dibangkitkan di Nain
5.
Lukas
18:43 – seorang buta di Yerikho yang disembuhkan
6.
Matius
17:1 dst – penampakan kemuliaan Allah yang paling jelas yang diperlihatkan
selama Yesus di dunia yaitu pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung; untuk
waktu singkat kemuliaan Allah nampak
dala wajah dan penampilan Yesus yang sama sekali berubah
7.
Jemaat
di Yerusalem memuliakan Allah ketika mendengar laporan-laporan Petrus dan
Paulus (Kis. 11:18; 21:20)
Hal yang perlu diketahui
bahwa kemuliaan Kristus tidak dapat dipisahkan dari kemuliaan Allah (Yoh. 5:41:
1:14; 11:4,40; 13:31 – kemuliaan Yesus berasal dari sumber ilahi).[17]
Dengan demikian, maka Allah bukan saja dianggap mulia, tetapi patokan bagi
ukuran kemuliaan manusia. Tidak ada kemuliaan yang melebihi kemulaan Allah.
Dalam theologi Paulus, patokan untuk
mengukur kegagalan manusia adalah kemuliaan Allah (Rm. 3:23) yang berarti bahwa
sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa manusia tidak mungkin menjadi cermin
kemuliaan Allah sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, proses pembenaran-lah
yang memungkinkan manusia untuk memperoleh bagian dalam kemuliaan Allah (Rm.
5:2). Paulus melihat adanya suatu interaksi/ hubungan antara kemuliaan Allah
dengan kemuliaan orang Kristen (2 Kor. 3:18). Apa yang dilakukan orang percaya
haruslah dilakukan untuk kemuliaan Allah (bnd. Rm 15:7; 2 Kor. 4:15; Flp. 1:11;
2:11). Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan kebinasaan kekal yaitu terpisah
dari hadirat Allah dan kemuliaan kekuatan-Nya (2 Tes. 1:9). Oleh karena itu
pengaburan kemuliaan Allah merupakan peristiwa terburuk yang dialami manusia.[18]
Dalam kitab Wahyu, tema mengenai
kemuliaan Allah merupakan ungkapan penyembahan kepada Allah (bnd. Why. 4:11;
7:12; 19:2). Demikian juga halnya dengan Yerusalem Baru tidak memerlukan benda
penerang yang lain karena kemuliaan Allah sendiri yang adalah penerangnya (Why.
21:23).[19]
Oleh karena itu, tentulah kemuliaan
Allah membangkitkan rasa hormat kepada-Nya. Satu-satunya pendekatan yang benar
dari manusia ciptaan-Nya adalah sikap merendahkan diri di bawah tangan-Nya yang
kuat (1 Ptr. 5:6).[20]
Allah adalah pribadi yang hidup.
Kemuliaan Allah tidak bisa dipisahkan dari Pribadi-Nya yang hidup. Oleh karena
itu, kehidupan orang percaya tidak bisa dipisahkan dari Pribadi Yang Hidup.
Demikian juga, kehidupan orang percaya haruslah memancarkan kemuliaan Allah.
Kemuliaan dunia ini semuanya semu. Oleh sebab itu jangan pernah mengaburkan
kemuliaan Allah dalam diri orang percaya dengan kemuliaan dunia yang semu ini.
Kemuliaan Allah kekal adanya, kemuliaan dunia ini sementara.
Berhikmat dan
berpengetahuan
Penulis-penulis Yahudi sering
berbicara mengenai hikmat, tetapi tidak membicarakannya sebagai sifat Allah
melainkan sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Hikmat dilukiskan sebagai
kecemerlangan terang Allah yang kekal dan sebenarnya ia merupakan asas
penciptaan. Meskipun demikian, di dalamnya terkandung pengertian bahwa
personifikasi hikmat itu dimulai dari Allah dan karena itu memberikan kesaksian
bahwa hal itu merupakan sifat Allah yang hakiki.[21]
Dalam PB, konsep mengenai hikmat
Allah tidak menonjol kecuali dalam tulisan-tulisan Paulus. Dalam Lukas 11:49,
hikmat dikemukakan satu kali sebagai suatu rumusan yang mengantarkan suatu
ucapan ilahi. Ucapan Ilahi tidak bisa dipisahkan dari hikmat-Nya. Kebenaran
kata-kata-Nya didukung oleh hikmat Allah yang tidak terpahami. Jika Allah itu
hikmat, maka apa yang dikatakan-Nya tentulah benar.[22]
Paulus juga membedakan antara hikmat
Allah dan hikmat manusia (1 Kor. 1:20) dan menunjukkan hikmat Allah.
Sesungguhnya hikmat manusia berubah menjadi kebodohan bila dipandang dari sudut
hikmat Allah. Hikmat Allah merupakan tolok ukur bagi semua hikmat yang lain.
Dalam 1 Korintus 2:7, Paulus berkata bahwa hikmat Allah itu tersembunyi dan
rahasia namun hikmat itu dapat diberitakan. Hikmat Allah juga tidak bisa
dilepaskan dari tindakan-tindakan (karya-karya) Allah. Hikmat Allah adalah
hikmat tertinggi. Tidaklah mengheranakan bahwa Paulus mengagumi hikmat dan
pengetahuan Allah yang begitu dalam (Rm. 11:33).
Kendtipun hikmat dan pengetahuan itu
berbeda, namun tidaklah begitu tepat apabila dibuat perbedaan antara hikmat dan
pengetahuan Allah. Hikmat adalah penggunaan yang tepat untuk pengetahuan.
Hikmat yang sempurna disebabkan adanya pengetahuan yang sempurna. Hikmat dan
pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari Pribadi Allah. Dalam Matius 6:8, Yesus
berkata bahwa “Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan sebelum kamu meminta
kepada-Nya.” Hal ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang tepat
dan terperinci mengenai tindakan-tindakan dan kebutuhan-kebutuhan mahluk-mahluk
ciptaan-Nya. Ia melihat tindakan manusia
yang dilakukan secara tersebunyi (Mat. 6:4,6) karena Yesus mengatakan bahwa
tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui (Mat. 10:26). Jika
Allah mengetahui tentang masa sekarang, maka Allah juga mengetahui tentang masa
yang akan datang.[23]
Hikmat dan pengetahuan Allah
menyatakan pemahaman-Nya yang sempurna. Apa yang Allah katakan pastilah benar.
Ia tidak pernah berdusta (Tit. 1:2), tidak mungkin Allah berdusta (Ibr. 6:18). Kebenaran Allah yang mutlak
menjamin keserasian hikmat dan pengetahuan-Nya.Tidak ada kesan bahwa Allah
pernah mengubah rencana-Nya.
Penulis PB sadar bahwa kehendak
allah bersifat menguasai dan mengikat. Yesus sendiri menunjukkan hal ini
melalui pengalaman-Nya di Taman Getsemane, janganlah seperti yang Kukehendaki,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mat. 26:39; bnd. 26:42). Apa yang
dikehendaki Allah tentulah itu yang terbaik bagi Anak sekalipun itu membutuhkan
tindakan pengorbanan diri. Kehendak Allah itulah yang menguasai saat yang
paling gelap yang dialami Yesus. Hal ini juga terdapat dalam doa “Bapa Kami”
(Mat. 6:10). Melakukan kehendak Bapa merupakan tanda menjadi anggota keluarga Allah
(Mat. 12:50).[24]
Dalam surat-surat kiriman Rasul
Paulus kesediaan untuk menerima kehendak Allah juga merupakan hal yang sangat
menentukan. Paulus juga memulai suratnya dengan memberikan pernyataan bahwa ia
menjadi rasul oleh kehendak Allah (1 Kor. 1:1; 2 Kor. 1:1; Ef. 1:1; 2 tim.
1:1). Ia juga datang dari satu tempat ke tempat yang lain menurut pimpinan
kehendak Allah (Rm. 15:32). Baginya, kehendak Allah juga dipandang sebagai
suatu rahasia (Ef. 1:9). Hidup orang Kristen adalah hidup menurut kehendak Allah
(Ibr. 10:36). Kehendak manusia harus sejalan dengan kehendak Allah. Yakobus
mengatakan bahwa semua rencana harus dihubungkan dengan kehendak Tuhan karena
kehidupan itu sendiri bergantung pada kehendak Allah (Yak. 4:15). Gagasan yang
sama juga diungkapkan dalam 1 Petrus 3:17; 4:2 (bnd. 1 Yoh. 2:17). Bahkan
penderitaan juga bisa terjadi karena kehendak Allah, oleh karena itu perlu
mempercayakan diri mereka kepada Pencipta yang setia (1 Ptr. 4:19). Bila
penderitaan diijinkan terjadi, tentu Allah mempunyai maksud yang baik dengan
terjadinya hal itu. Dalam PB tidak terlihat kesan bahwa Allah dianggap kurang
bijaksana ataukurang baik karena penderitaan juga hadir dalam kehidupan
orang-orang Kristen. Inti dari penebusan adalah penderitaan Yesus Kristus dan
itu merupakan contoh penderitaan yang paling hebat.[25]
Sebagaimana Kristus harus menderita,
demikian juga orang Kristen tidak terlepas dari penderitaan. Dalam 1 Petrus
4:14 ditegaskan bahwa suatu berkat khusus diberikan kepada mereka yang dinista
karena nama Kristus. Namun itu merupakan penderitaan yang kecil. Yakobus
menasihatkan pembaca-pembacanya untuk menganggapnya sebagai kebahagiaan jika
mereka menghadapi pencobaan (Yak. 1:2 dst). Kitab Wahyu memperlihatkan
perhatian Allah yang sungguh-sungguh terhadap penderitaan umat-Nya, khususnya
bagi mereka yang mati syahid karena iman mereka (Why. 6:9 dst). Tanpa keyakinan
akan kesempurnaan hikmat Allah, tidak mungkin orang-orang Kristen dapat
menghadapi penderitaan.[26]
Maha Kudus
Dalam PL, sifat Allah yang khas
adalah kekudusan-Nya. Walaupun bangsa-bangsa, benda-benda dan tempat-tempat
disebut kudus, tetapi itu hanyalah berarti “dikhususkan bagi Allah. Allah Kudus
berarti Dia murni dalan pikiran dan sikap. Demikian juga halnya dalam PB, kudus
merupakan unsur penting dalam kaitan dengan keselamatan.
Dalam Yohanes 17:11, Yesus menyebut
Bapa-Nya sebagai Bapa Yang Kudus. Pada waktu Yesus dihadapkan dengan siksaan
dalam penderitaan-Nya, Yesus sangat menyadari kemutlakan kekudusan Bapa-Nya
yang sangat mengutus-Nya. Dalam 1 Petrus 1:16 dinyatakan bahw kekudusan Allah
merupakan pola bagi kekudusan manusia. Kemurnian pikiran dan perbuatan-Nya
tidak dapat dibantah.[27]
Kekudusan tidak pernah dapat dipisahkan dari hubungan Tuhan Allah dengan
umat-Nya. Tuhan yang Kudus tidak dapat berhubungan dengan manusia yang masih
terikat dosa. Ia menghukum setiap orang yang menghinakan kekudusan-Nya.
Kekudusan Allah menuntun kekudusan umat-Nya.[28]
Benar dan Adil
Kebenaran dan keadilan merupakan
sifat moral Allah. Dalam Roma 10:3, Filipi 3:9 Paulus menyatakan bahwa
kebenaran yang sejati berasal dari Allah. 2 Korintus 5:21 dinyatakan juga bahwa
Kristus dibuat menjadi dosa, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.
Kebenaran merupakan unsur pokok yang hakiki dala citra Allah. Tuntutan bahwa
manusia seharusnya hidup benar adalah didasarkan pada kenyataan bahwa Allah itu
benar (Mat. 5:20; 6:33). Dalam Yohanes 17:25, Yesus berkata “Ya, Bapa yang
adil.” Keadilan Allah tidak bisa dilepaskan dari keadilan Allah. Allah yang
adil secara mutlak harus menghakimi dengan keadilan yang mutlak (bnd. Rom.
2:5).[29]
Konsep ini mengandung gagasan bahwa
Allah tidak memihak-mihak (tidak membeda-bedakan). Sulit bagi orang Israel
menerima gagasan ini, karena mereka meyakini bahwa Israel adalah bangsa yang
dikasihi Tuhan, sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih unggul daripada
bangsa-bangsa Israel dalam pandangan Allah. Itulah sebabnya permasalahan timbul
ketika orang-orang Yahudi dan non Yahudi diharuskan berbaur dalam
perhimpunan-perhimpunan umat Kristen mula-mula. Dalam Kisah Para Rasul 10:34,
diperlukan suatu penglihatan khusus bagi Petrus untuk meyakinkannya bahwa Allah
tidak membeda-bedakan orang. Sebelum diyakinkan, Petrus tidak bersedia untuk
mengunjungi rumah orang-orang bukan Yahudi untuk memberitakan Injil. Penglihatan
tersebut menghancurkan pandang Petrus yang keliru. Inilah yang menjadi dasar
bahwa Allah Bapa tanpa memandang muka akan menghakimi semua orang menurut
perbuatannya (bnd. Ibr. 6:10; Rm. 3:5).[30]
Demikian juga halnya dengan Saulus dari Tarsus. Dalam Rm. 2:11; Gal. 2:6,
Paulus menegaskan bahwa Allah tidak menunjukkan sikap memihak-mihak.[31]
Segi yang penting dari kebenaran dan
keadilan Allah adalah murka-Nya. Murka Allah yang terdapat dalam Roma 1:18
(bnd. 5:9; 12:19; 13:5; bnd. juga 9:22) tidak dapat diabaikan dari hubungannya
dengan sifat-sifat Allah. Murka Allah bukanlah suatu luapan kemarahan yang sama
seperti kemarahan manusia, yaitu suatu luapan nafsu yang tidak terkendali,
tetapi itu merupakan penolakan terhadap semua hal/ tindakan yang tidak kudus/
berdosa (kefasikan dan kelaliman). Keselamatan bagi orang-orang berdosa tidak
mempengaruhi sikap Allah terhadap orang berdosa. Jika kita tidak mencatat sikap
Allah yang tidak senang terhadap beberapa hal, maka kita menganggap enteng
penghukuman-Nya. Haruslah diperhatikan bahwa Paulus meyakinkan orang-orang
Tesalonika bahwa Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka (1 Tes. 5:9).[32]
Dalam Yohanes 3:36, Yesus menegaskan
bahwa murka Allah tetap ada di atas mereka yang tidak taat kepada Anak. Dalam
pribadi yang sama bisa terdapat kasih dan murka tanpa pertentangan. Bahkan,
kasih yang benar akan berusahan untuk memelihara kasih itu dengan menghargai
obyekyang dikasihinya serta memberikan reaksi terhadap mereka yang menolak
obyek yang dikasihi itu. Konsep tentang murka diperlukan untuk menjaga
kemurnian kasih ilahi.[33]
Dalam Kitab Wahyu, ada beberapa ayat
yang menunjukkan murka Tuhan seperti: Wahyu 6:16; 14:10,19; 15:7 dll. Namun
pada intinya, penglihatan ini menggambarkan murka Allah yang menakutkan yang tidak
mungkin ditiadakan.[34]
Dalam Ibrani 12:29, penulis surat
Ibrani menggambarkan murka Allah sebagai pribadi yang menghanguskan dan juga
berbicara mengenai mengenai penghakiman dan api yang dahsyat yang akan
menghanguskan semua orang durhaka (Ibr. 10:27).
Kasih dan
Anugerah Allah
Dalam tulisan-tulisan Yohanes, kasih
kepada Allah kepada Anak-Nya merupakan bukti utama bahwa kasih Allah adalah
sifat Allah yang hakiki (Yoh. 3:35; 5:20; 10:17; 15:9; 16:27; 17:23-24). Yesus
menyadari bahwa pola kasih Bapa kepada-Nya merupakan dasar dan pola kasih
kepada umat-Nya (17:23). Dalam pengajaran Yesus, yang menjadi kebutuhan manusia
adalah menerima kasih Allah (Yoh. 14:21,23).
Paulus juga mempunyai pemikiran yang
sama. Dalam surat Roma 5:5. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita
melalui Roh Kudus. Kasih itu terlihat
jelas dalam karya allah menyelamatkan manusia berdosa (Rm. 5:8). Akibatnya,
orang-orang percaya tidak dapat dipisahkan dari kasih tersebut (rm. 8:39). Kasih
membuat mereka lebih daripada orang-orang yang menang (Rm. 8:37). Dalam doa
Paulus bagi orang-orang Tesalonika, kasih Allah dipandang sebagai tujuan
sehingga orang-orang Kristen harus diarahkan pada tujuan itu (kiranya Tuhan
tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah). Dalam Yudas 21 juga terdapat
gagasan yang sama. Dalam 1 Yohanes 4:8,16 ditegaskan bahwa “kasih merupakan
pola pendekatan Allah kepada manusia.” Kasih Allah harus dibedakan dari kasih
manusia. Allah yang mengasihi manusia, Dia yang lebih dahulu mengasihi, bukan
manusia (1 Yoh. 4:10,19). Lagipula, bila manusia harus saling mengasihi, maka
kasih Allah harus merupakan sumber kasih itu (1 Yoh. 4:7). Oleh karena itu,
mereka yang tidak menunjukkan kasih kepada orang-orang yang memerlukannya,
sebenarnya menutup hati mereka sendiri terhadap kehadiran kasih Allah (1 Yoh.
3:17).
A peculiar witch dashes into the outlook.
[1] Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang: Gandum
Mas, 1998), 24-35
[2] John Drane, Memahami Perjanjian Lama III, (Jakarta: Yayasan Persekutuan Pembaca
Alkitab, 2003), 5-6
[3] Ibid., 6
[4] Paulus Daun, Proper Theologia, (Manado: Yayasan Daun
Family, 2004), 109-111
[5] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 47-49
[6] Ibid.
[7] David K.
Lowery, Teologi Matius, A Biblical
Theology of the New Testament, (Malang:
Gandum Mas), 21
[8] Ibid.,
50-51
[9] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,
52-53
[10] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 61
[11] Leon
Morris, Teologi Perjanjian Baru,
(Malang: Gandum Mas), 32-33
[12] Ibid.,
60-61
[13] Harun
Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 320-321
[14] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 62
[15] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 62
[16] Ibid.,
63
[17] Ibid.,
65
[18] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,
66
[19] Ibid.,
67
[20] Ibid.,
69
[21] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 71
[22] Ibid.
[23] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…, 72
[24] Ibid.,
74
[25] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,
75-76
[26] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,76-77
[27] Ibid.,
77-78
[28] Harun
Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), 320-321
[29] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,78-79
[30] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,79-80
[31] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,80
[32] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1…,82
[33] Ibid.
[34] Ibid.,
83